Ilustrasi dari http://www.kompasiana.com/virays/akankah-demokrasi-kita-kembali-ke-jaman-orba_56a70319d87a61c7064274a6 |
Negara demokrasi yang aneh. Begitulah negeri Indonesia. Bangunan demokrasi yang digagas oleh pendahulu telah runtuh seiring dengan pembungkaman suara-suara aspirasi dari berbagai elemen masyarakat. Dahulu, di masa rezim tirani orde baru, suara-suara masyarakat dibungkam dengan mesin militerisme. Hingga mencapai puncak pada tahun-tahun terakir kekuasaannya yakni penculikan terhadap 24 aktivis, termasuk di antaranya penyair Wiji Thukul.
Pasca jatuhnya rezim tirani itu, demokrasi belum juga terbangun. Pada tahun 2013, petani Malakar yang berjuang mempertahankan tanahnya mesti menerima tembakan dari aparat kepolisian. Kemudian pada tahun 2016, aktivis Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Sugiyanto, yang menolak penggusuran paksa dijemput paksa oleh aparat kepolisian pada tengah malam tanpa surat penangkapan.
Pada tahun itu juga, lima kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diculik pada tengah malam dari sekretariatnya pasca demonstrasi bela Islam. Dan sekarang ini, pembungkaman demokrasi kembali terjadi di depan mata, dengan ditangkapnya mahasiswa oleh aparat kepolisian pasca aksi hari pendidikan nasional di sekitaran kampus Universitas Sumatera Utara. Dua dari tiga yang masih ditahan merupakan anggota lembaga pers mahasiswa Insitut Teknologi Medan (ITM) yang bertugas untuk meliput aksi demonstrasi. Sedangkan, satunya lagi, merupakan salah satu massa aksi yang ditangkap di dalam kampus, setelah aksi demonstrasi selesai.
Sangat menggila dan arogan. Aparat kepolisian telah menggunakan kekerasan kepada mereka bertiga hingga beberapa bagian tubuhnya terdapat memar pukulan. Bahkan salah satu dari mereka, Sier Mensen Siahaan, sampai muntah darah, hingga dirawat di rumah sakit.
Pasca penangkapan itu, aparat kepolisian belum puas dengan tindakannya. Mereka mulai melakukan penculikan-penculikan serta penggerebekan beberapa sekretariat yang terlibat dalam aksi demonstrasi. Yang paling arogan ialah saat penggereban terhadap sekretariat Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Gemaprodem) yang dilakukan pada dini hari. Pada saat itu, salah satu penghuni sekretariat meminta aparat kepolisian menunjukkan surat penangkapan, malah mendapat tindak pemukulan dari aparat kepolisian.
Pelanggaran terhadap KUHAP dan Undang-Undang
Padahal, tindakan kekerasan merupakan pelanggaran berat selama yang ditangkap belum berstatus tersangka. Artinya, aparat kepolisian pada saat itu, telah melanggar prinsip asas praduga tidak bersalah yang telah dijelaskan dalam butir ke 3 huruf c Penjelasan Umum KUHAP. Dan hal ini juga berlaku pada ketiga mahasiswa yang yang sempat dipukuli saat mereka belum berstatus tersangka.
Di samping itu, tindakan-tindakan represi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap gerakan-gerakan rakyat dan mahasiswa, merupakan pelanggaran Pasal 28 Konsitusi UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Penangkapan, penculikan, dan penggerebekan merupakan kondisi objektif yang kemudian menjadi bukti bahwa belum ada yang bisa menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di negeri ini. Seolah-olah kata demokrasi hanyalah wacana yang tidak akan pernah mendapati dirinya dalam praktek. Sekali lagi, bahwa Indonesia telah menjadi negara demokrasi yang aneh dan hukumnya mudah dipermainkan aparatus negara.
Sejarah telah menunjukkan secara gamblang dan jelas diamnya pemerintah atas kriminalisasi dan represifitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa. Seolah-olah pemerintah hari ini mengamini keruntuhan bangunan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ber-ideologi-kan Pancasila yang sarat dengan kemerdekaan.
Untuk itu, pemerintah harus segera menunjukkan konsistensinya untuk menjamin secara total kemerdekaan pendapat demi membangun puing-puing demokrasi yang sejati. Di samping itu, pemerintah harus segera mengevaluasi serta merefleksikan segala tindakan kriminalisasi dan represi aparat-aparat negara dalam beberapa dekade terakhir untuk perkembangan aparat-aparat negara yang lebih maju yang benar-benar “mengayomi” rakyat.
*Penulis merupakan mahasiswa Pendidikan Sejarah UNIMED dan aktif di komunitas Tinta Pulpen dangerakan sosial kelompok studi BARSDem
0 komentar:
Posting Komentar