Ilustrasi dari http://nasional.kontan.co.id/news/disebut-kutu-loncat-hary-tanoe-cuek


 "Mas Yulianto kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar, siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasan tak akan langgeng, saya masuk politik karena ingin membuat Indonesia maju dalam arti yang sesungguhnya, termasuk penegakan hukum yang profesional, tidak transaksional, tidak bertindak semena mena demi popularitas, dan abuse of power. Suatu saat saya akan jadi pimpinan negeri ini, di situlah saatnya Indonesia akan berubah dan dibersihkan dari hal hal yang tidak sebagaimana mestinya. Kasihan rakyat yang miskin makin banyak sedangkan yang lain berkembang dan makin maju,".”
Bahan di atas adalah penggalan pesan sms dari Hary Tanoesoedibjo kepada Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto, yang mana Hary Tanoe telah dilaporkan atas tuduhan melakukan ancaman beberapa hari yang lalu. Dalam tulisan ini, saya tidak akan mempersoalkan apakah SMS itu bermuatan ancaman atau tidak. Karena bagaimanapun saya pasti memihak kepada beliau sebab saya adalah seorang fans dan pengagum rahasia dari Hari Tanoesoedibjo. Ada sisi lain dari pesan itu yang membuat saya semangat setengah mati sehingga saya akhirnya membuat dukungan tertulis untuk beliau.
Saya sudah lama mengagumi Hary Tanoe sebagai seorang pebisnis yang kuat dan tidak kenal lelah. Menurut Forbes, saat ini beliau dengan sejumlah perusahaan yang sedang dia tangani, berada pada peringkat 20 dalam orang terkaya di Indonesia dengan aset kekayaan 1,1 miliar dolar atau sekitar 14,3 triliun rupiah. Keren kan,  artinya di negara yang kaya sumber daya alamnya ini Hary Tanoe menjadi salah satu  pemegang harta terbesar dari ratusan juta warga negara Indonesia. Tidak diragukan lagi, itu adalah keberhasilan luar biasa.
Selain itu, yang membuat saya ngefans kepada Hary Tanoe ialah karena salah satu siaran televisi miliknya, RCTI. Sebab siaran televisi inilah yang terakhir kali mampu menayangkan siaran langsung pertandingan liga champions Eropa dengan parabola biasa, sehingga saya tidak perlu repot-repot keluar rumah untuk mencari kedai kopi yang berfasilitas siaran televisi berbayar. Namun, setelah liga champions beralih ke siaran televisi SCTV, mau-tidak mau, saya harus keluar pada akhirnya, sebab SCTV tidak mampu menayangkannya di parabola biasa..
Adapun yang  membuat saya semangat membaca SMS itu ialah statement beliau yang menyatakan sikap secara lantang untuk menjadi pemimpin negeri ini.  Sudah barang tentu, hal itu adalah statement yang serius. Dalam hal memimpin,  tidak ada lagi keraguan dalam diri saya dengan kapasitas beliau. Meminjam gaya omongan anak muda sekarang, perusahan saja bisa dipimpin, apalagi negara. Hehehe..
Keyakinan saya semakin kuat melihat ketegasan dan keberanian perusahaan beliau dalam beberapa minggu terakhir, yaitu PT Media Nusantara Informasi, yang tanpa muluk-muluk  mengeluarkan secara tegas 60 karyawan pasca ditutupnya beberapa kantor biro di beberapa wilayah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Medan, Palembang, Manado dan Makassar. Dan saya sangat salut akan teguhnya pendirian perusahaan tersebut, ketika sejumlah mantan karyawan itu melakukan protes atas pemecatan sepihak yang dilakukan perusahaan. Dan sudah tepat apa yang telah dilakukan, yakni menolak permintaan mantan karyawan atas uang pesangon. Emang siapa yang mau rugi?
Melihat kalimat terakhir pada isi pesan Sms beliau, perasaan saya bergetar. Selain tegas dan berani, dia juga memiliki jiwa empati dan hati yang mulia. Demi rakyat miskin yang jauh hari semakin banyak, Hary Tanoe rela masuk dalam dunia politik dan berjuang menempuh kepemimpinan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan tersebut. Ya, apa lagi, hanya dia lah yang  memang pantas memimpin negara ini dan ketahuilah bahwa rakyat miskin menunggunya dari jurang ketertindasan. Tidak banyak hal yang bisa saya lakukan untuk membantu beliau kecuali dukungan. Mulai sekarang, saya akan terus mendukung beliau menuju kepemimpinan.
Pimpin lah negara ini pak sebagaimana cita-cita bapak yang termuat dalam pesan SMS itu. Unruk mengingatkan, akan saya kutip ulang dua kalimat terakhir pada pesan sms bapak, "Suatu saat saya akan jadi pimpinan negeri ini, di situlah saatnya Indonesia akan berubah dan dibersihkan dari hal hal yang tidak sebagaimana mestinya. Kasihan karyawan  di PHK sepihak dan makin banyak rakyat miskin akibat semakin massifnya pemusatan kekayaan yang dilakukan segelintir orang..............  Ehhh salahhh
Malam yang dingin membuat aku menggigil. Aku tidak menggunakan sweater maupun atasan lengan panjang. Yang kupakai hanyalah kaos tipis yang mudah ditembus angin. Sedangkan Mahendra mengenakan kemeja lengan panjang, ditambahi celana panjang, dan sepatu. Dari gerak-geriknya tidak tampak kedinginan.
Kami berdua menyusuri jalanan landai. Nafasku terengah-engah membuatku ingin berhenti sejenak. Namun, melihat Mahendra berjalan dengan riang dan bersemangat, niatku pupus.
Di sepanjang jalan, kami berbicara tentang banyak hal, mulai dari tentang organisasi, cinta, hingga ekonomi politik. Asyiknya pembicaraan, candaan membuat tidak terasa sudah sampai di pertengahan jalan. "Wowwww, keren kali langitnya lae." Ucap Mahendra keheranan sambil menunjuk ke langit.
"Ah, keren gimana lae?" Ucapku penasaran, sebab aku tidak melihat sesuatu yang keren di atas sana.
"Itu lae, dibalik gunung itu. Bisa cuma disitu terang dia."
"Ahh, biasanya itu lae..." Ucapku dengan sedikit senyuman melihat Mahendra yang masih mengherani langit itu.
Kami meneruskan perjalanan hingga sampai ke tujuan, Open Stage Parapat. Minum bandrek susu hangat membuat suhu tubuhku meningkat.
Tempat itu ramai. Barangkali karena pada saat itu masih libur lebaran. Aku mencurhatkan seorang perempuan yang tak kunjung membalas pesanku. Mahendra mulai memberikan pendapat dan sarannya. Menurutnya, diperlukan seseorang yang yang bisa memberikan informasi tentang si perempuan. Teman dekatnya. "Siap, dilaksanakan lae!"
Obrolan kami berhenti diikuti gelas bandrek susu yang mengosong. Kuajak Mahendra beranjak melihat Pesanggrahan Soekarno, yang tak cukup jauh dari tempat kami minum.
Tidak cukup jauh berjalan, aku jumpa dengan teman lama, yang juga mantan teman satu kost'an, Paskah, Sarah, Ratna dan Imannuel. Saat itu mereka sedang berbincang dengan seorang teman yang lain, yang rumahnya kira-kira hanya berjara 50 meter dari rumahku, Aswin Harefa, anggota Shine Band yang pernah mendapatkan rekor, kalau tidak salah juara tiga pada kompetisi Indosean Got Tanlent. Kusalam Aswin yang sudah lama tak berjumpa dengannya. Maklum, dia kuliah di Jawa.
Empat mantan teman kost'ku itu mengatakan aku terus demo. Aku tak tau dari mana mereka mengetahuinya. "Kau, lalap demo apa", ucap Paskah.
Aku diam saja dan berusaha menahan agar tak membalas ucapannya. Kalau aku balas, pembicaraan akan menjadi panjang dan sulit untuk merasionalkannya.  Sementara, aku harus membawa Mahendra mengitari tempat ini yang sudah datang jauh-jauh dari Medan. Terpaksa aku mengiyakan ucapan mereka.
Tentang Demonstrasi
Wajar kok mereka begitu. Aku juga pernah tidak suka melihat demonstrasi. Sudah membuat jalanan macet, orang-orang yang demo itu juga bergaya gondrong, celana robek-robek. Namun aku mulai menyadari, bahwa demonstrasi itu tidak sesederhana itu. Demonstrasi itu rumit dengan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Demonstrasi merupakan hak setiap orang untuk menyampaikan tuntutannya.
Sekarang ini Marwah demonstrasi sudah jelek di mata publik. Menurutku, banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Yang pertama, media cenderung memberitakan dampak dari demonstrasi. Media mengabarkan kepada publik, misalnya terjadi kemacetan  di jalan A karena ada sejumlah orang yang demonstrasi. Jarang sekali media mengabarkan tuntutan-tuntutan sejumlah orang tersebut dan sangat sedikit media yang mengabarkan mengapa sejumlah orang tersebut berdemonstrasi. Yang kedua, ada demonstrasi yang digerakkan oleh permainan politik. Sehingga seringkali beberapa demonstrasi yang membutuhkan massa bayaran. Massa bayaran itu sering disebut pasukan nasi bungkus. Karena itu tak jarang aku mendengar pertanyaan "berapa kau dibayar?" "Berapa bayarannya?"
Dua hal itu sangat merusak marwah demonstrasi. Publik tidak menyadari demonstrasi tidak selalu seperti yang dibicarakan media. Demonstrasi tidak selalu digerakkan oleh permainan politik.
Di samping itu, publik hari ini cenderung egois dan apatis. Publik bisa bersenang-senang ria, menikmati makanan mahal, enaknya duduk digedung ber-AC nan tinggi, nyamannya menggunakan mobil mewah, senangnya berwisata ke luar kota bahkan ke luar negeri, sementara menutup mata terhadap anak-anak buruh, petani, dan orang miskin yang tidak bersekolah dan berkuliah karena mahalnya biaya pendidikan, maraknya peminta-minta di tengah kota, banyaknya gadis-gadis yang menjual kelaminnya terhadap lelaki hidung belang, dan masih banyak lagi. Publik menutup mata dengan menuduh mereka "malas, tidak berjuang keras, dan bahkan tidak bernasib."
Adapun terkait yang berdemonstrasi, publik lebih memilih menghina mereka daripada mencari tau apa yang mereka perjuangkan. Karena mereka lebih memilih mementingkan dirinya masing-masing dari pada mereka yang menyuarakan pendapatnya. Publik menutup mata akan ketertindasan orang-orang di sekitarnya karena egonya yang maha tinggi.
Kembali ke Cerita
Lalu aku dan Mahendra, pamit untuk melanjutkan perjalan. Kira-kira 100 meter sebelum tempat tujuan, aku sekcing (sesak kencing). Air seni yang tertahan di tubuhku, segera kukeluarkan di tepi jalanan sepi nan gelap. Tak kupedulikan beberapa orang yang sedang berbincang, yang jaraknya kira-kira 10 meter dari tempatku kencing. "Bisa lae kencing di segala tempat ya.." Ucap Mahendra melihat keanehanku. "Kadang harus gitu dia lae" balasku dengan sedikit tawa.
Perjalanan kami lanjutkan. "Wahhhh... Keren kali laeeee!!" Ucap Mahendra yang takjub melihat bentangan danau toba yang terpampang jelas dari tempat kami berjalan. Tak terlalu kutanggapi, sebab memaklumi Mahendra yang baru pertama kalinya ke tempat itu.
Akhirnya kami sampai di tempat Pesanggrahan Soekarno. Itu adalah tempat penginapan Soekarno dan H. Agus Salim, yang dibawa paksa oleh Belanda untuk membujuk Soekarno menggagalkan rencana kemerdekaan Indonesia  sekitar 71 tahun yang lalu. Seperti biasa, tempat itu ditutup. Menurut beberapa orang, mesti ada izin resmi dari pemerintah dan stakeholder agar bisa memasukinya.
Kami berdua memutuskan untuk beristirahat di pekarangan bangunan tua itu dan tak lupa mengabadikan diri  dengan beberapa jepretan kamera android milik Mahendra. Cukup lama berbincang-bincang disana. Kami berdua pun melanjutkan perjalanan, melintasi beberapa toko suvenir yang berjejer di tepi jalanan hingga sampai ke tempat kami minum tadi.
Di sana kami jumpa dengan teman kompakku di kampung. Mereka mengajak kami duduk bersama. Kira-kira satu jam duduk di sana, kami pun pulang.
Ilustrasi dari http://www.kompasiana.com/virays/akankah-demokrasi-kita-kembali-ke-jaman-orba_56a70319d87a61c7064274a6

Negara demokrasi yang aneh. Begitulah negeri Indonesia. Bangunan demokrasi yang digagas oleh pendahulu telah runtuh seiring dengan pembungkaman suara-suara aspirasi dari berbagai elemen masyarakat. Dahulu, di masa rezim tirani orde baru, suara-suara masyarakat dibungkam dengan mesin militerisme. Hingga mencapai puncak pada tahun-tahun terakir kekuasaannya yakni penculikan terhadap 24 aktivis, termasuk di antaranya penyair Wiji Thukul.
Pasca jatuhnya rezim tirani itu, demokrasi belum juga terbangun. Pada tahun 2013, petani Malakar yang berjuang mempertahankan tanahnya mesti menerima tembakan dari aparat kepolisian. Kemudian pada tahun 2016, aktivis Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Sugiyanto, yang menolak penggusuran paksa dijemput paksa oleh aparat kepolisian pada tengah malam tanpa surat penangkapan.
Pada tahun itu juga, lima kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diculik pada tengah malam dari sekretariatnya pasca demonstrasi bela Islam. Dan sekarang ini, pembungkaman demokrasi kembali terjadi di depan mata, dengan ditangkapnya mahasiswa oleh aparat kepolisian pasca aksi hari pendidikan nasional  di sekitaran kampus Universitas Sumatera Utara. Dua dari tiga yang masih ditahan merupakan anggota lembaga pers mahasiswa Insitut Teknologi Medan (ITM) yang bertugas untuk meliput aksi demonstrasi. Sedangkan, satunya lagi, merupakan salah satu massa aksi yang ditangkap di dalam kampus, setelah aksi demonstrasi selesai.
Sangat menggila dan arogan. Aparat kepolisian telah menggunakan kekerasan kepada mereka bertiga hingga beberapa bagian tubuhnya terdapat memar pukulan. Bahkan salah satu dari mereka, Sier Mensen Siahaan, sampai muntah darah, hingga dirawat di rumah sakit.
Pasca penangkapan itu, aparat kepolisian belum puas dengan tindakannya. Mereka mulai melakukan penculikan-penculikan serta penggerebekan beberapa sekretariat yang terlibat dalam aksi demonstrasi. Yang paling arogan ialah saat penggereban terhadap sekretariat Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Gemaprodem) yang dilakukan pada dini hari. Pada saat itu, salah satu penghuni sekretariat meminta aparat kepolisian menunjukkan surat penangkapan, malah mendapat tindak pemukulan dari aparat kepolisian.
Pelanggaran terhadap KUHAP dan Undang-Undang
Padahal, tindakan kekerasan merupakan pelanggaran berat selama yang ditangkap belum berstatus tersangka. Artinya, aparat kepolisian pada saat itu, telah melanggar prinsip asas praduga tidak bersalah yang telah dijelaskan dalam butir ke 3 huruf c Penjelasan Umum KUHAP. Dan hal ini juga berlaku pada ketiga mahasiswa yang yang sempat dipukuli saat mereka belum berstatus tersangka.
Di samping itu, tindakan-tindakan represi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap gerakan-gerakan rakyat dan mahasiswa, merupakan pelanggaran Pasal 28 Konsitusi UUD 1945 dan UU No. 9  Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Penangkapan, penculikan, dan penggerebekan merupakan kondisi objektif yang kemudian menjadi bukti bahwa belum ada yang bisa menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di negeri ini. Seolah-olah kata demokrasi hanyalah wacana yang tidak akan pernah mendapati dirinya dalam praktek. Sekali lagi, bahwa Indonesia telah menjadi negara demokrasi yang aneh dan hukumnya mudah dipermainkan aparatus negara.
Sejarah telah menunjukkan secara gamblang dan jelas diamnya pemerintah atas kriminalisasi dan represifitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa. Seolah-olah pemerintah hari ini mengamini keruntuhan bangunan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ber-ideologi-kan Pancasila yang sarat dengan kemerdekaan.
Untuk itu, pemerintah harus segera menunjukkan konsistensinya untuk menjamin secara total kemerdekaan pendapat demi membangun puing-puing demokrasi yang sejati. Di samping itu, pemerintah harus segera mengevaluasi serta merefleksikan segala tindakan kriminalisasi dan represi aparat-aparat negara dalam beberapa dekade terakhir untuk perkembangan aparat-aparat negara yang lebih maju yang benar-benar “mengayomi” rakyat.
*Penulis merupakan mahasiswa Pendidikan Sejarah UNIMED dan aktif di komunitas Tinta Pulpen dangerakan sosial kelompok studi BARSDem

Oleh: Robby Fibrianto Sirait

Orang Indonesia dan Tanahnya Diterjemahkan dari: De Indonesier en Zijn Ground, Leiden, boekhandel en drukkerij, v/h E.J. Brill, 1923 Diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh: Sajogyo Institute, Perkumpulan HuMa, STPN Press, Tanah Air Beta Penulis: C. van Vollenhoven Penerjemah: Soewargono Editor Ahli: Upik Djalins Penyelia Aksara: Anna Mariana dan A. N. Luthfi Layout: Eko Taufi k Cover: Dany RGB Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Orang Indonesia dan Tanahnya STPN Press, 2013 xxxviii + 176 hlm.: 14 x 21 cm ISBN: 602-7894-07-5

“Akhirnya didalam penjelasan atas rencana undang-undang itu, dapat dilihat dengan jelas adanya sifat hendak menjauhkan diri dari hukum yang hidup dikalangan rakyat Indonesia: ia tidaklah menjelaskan persoalannya dengan sungguh-sungguh, tetapi dengan sengaja hendak membawa parlemen kearah jalan yang sesat.” -Van Vollenhoven-

Sejarah yang penuh ironi. Begitulah sejarah bangsa Indonesia. Kesengsaraan bangsa yang dibelenggu oleh rezim kolonial Belanda membuat bangsa mengalami keterpurukan  mendalam. Bentuk-bentuk penindasan yang berbeda mulai dari sistem sewa tanah, tanam paksa, dan kerja paksa menjadi memori sejarah yang menyakitkan. Hak-hak bangsa ditelanjangi dengan berbagai cara. Baik dengan cara kekerasan maupun berupa peraturan hukum yang merugikan. 
Konstitusi Hindia Belanda yang lahir pada 1854 (Regeringsreglement 1854) merupakan hukum yang pertama kali mencantumkan perlindungan hukum bagi rakyat pribumi. Namun di balik itu, hukum ini malah membawa dampak buruk terhadap rakyat pribumi dengan melindungi usaha-usaha swasta di tanah mereka.
Tekanan berat semakin terasa pada tahun 1917-1919 ketika RUU (Rancangan Undang-Undang)  mengenai amandemen pasal 62 Konstitusi Hindia Belanda 1845 dilancarkan. RUU itu berisi usulan Pasal 62 yang berisi tentang perlindungan hah-hak atas tanah masyarakat pribumi untuk segera dihapuskan.
Di situasi inilah buku ini hadir untuk menentang upaya penghapusan perlindungan hak-hak tanah masyarakat pribumi. Van Vollenhoven dengan tegas mengkritik upaya tersebut dengan memaparkan secara logis segala pelanggaran-pelanggaran hak dan praktek ketidakadilan yang telah dilakukan rezim kolonial Belanda di masa lalu sekaligus di masa itu. 
Pada awal bab buku ini, Van Vollenhoven menunjukkan perbedaan hak-hak atas tanah orang pribumi dengan orang Eropa. Orang-orang pribumi memiliki hukum tersendiri terkait tanahnya, yakni hak ulayat yang tidak terdapat di Burgeliyjk Wetbook (Undang-Undang Perdata masa kolonial). Salah satu sifat dari hak ulayat ialah, “Bahwa hanya masyarakat hukum itu sendiri beserta anggota anggotanya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah yang tidak dibudidayakan yang berada dalam wilayah kekuasaannya (beschikkingskring), misalnya membuka tanah, mendirikan perumahan, mengumpulkan/ memungut hasil-hasil, berburu, menggembala ternak, dan sebagainya.” (hlm 9).
Kemudian menguak kekejaman Pemerintah Belanda di masa lalu seperti pengambilan sawah secara sewenang wenang, sistem pajak tanah, tanam paksa dan kerja paksa. Lalu, memamparkan tuntutan-tuntutan yang harus dilakukan serta peraturan peraturan yang menjamin kehidupan yang baik bagi rakyat pribumi terkait tanah-tanah pertanian.
Pada bab pertengahan, Van Vollenhoven mengorek tentang Pernyataan Domein pada tahun 1870 (Jawa) dan 1875 (luar Jawa) yang secara jelas melanggar hak rakyat pribumi. Setiap orang yang tidak bisa membuktikan suatu tanah itu adalah miliknya, maka negara bisa seenaknya mengambil tanah tersebut. Dan yang menjadi masalah besar ialah kriteria bukti diatur oleh pemerintah sendiri berdasarkan peraturan barat. Maka jika bukti-buktinya tidak sesuai dengan peraturan barat, maka hak tanah tersebut tidak diakui oleh pemerintah. Sangat kejam.
Masih di bab pertengahan, buku ini menjelaskan pelanggaran pemerintah terhadap hak-hak atas tanah yang tidak dibudidayakan rakyat pribumi. Padahal tanah yang tidak dibudidayakan itu merupakan hak dari rakyat pribumi yang sudah diatur dalam hak ulayat. Namun pemerintah selalu memiliki berbagai alasan yang memuakkan. Lalu dia juga memaparkan tuntutan-tuntutan yang harus dilakukan serta peraturan-peraturan yang menjamin kehidupan yang baik bagi rakyat pribumi terkait tanah yang tidak dibudidayakan.
Di dalam bab terakhir, Van Vollenhoven menyampaikan tuntutannya kembali kepada pemerintah untuk menghentikan sesegera mungkin maksud  penghapusan Pasal 62 Regeringsreglement 1854. Lalu menganjurkan penggantian beberapa redaksi kalimat yang lebih baik untuk kepentingan rakyat pribumi. 
“Tetapi jika rencana undang-undang tersebut benar-benar menjadi undang-undang, maka hanya sebuah kesimpulan yang dapat kami tarik: sebuah kesimpulan yang tidak saja mengubur kehormatan kita dipandang dari sudut akal, tetapi juga mengubur kehormatan kita dipandang dari sudut budi.” (hlm 153).
Selain menjadi senjata penjegal upaya pengamendeman Pasal 62 Regeringsreglement 1854, buku ini memberikan pengetahuan yang berarti bagi para pembacanya. Konsep hukum adat dan hak ulayat rakyat pribumi dipaparkan dengan jelas.
Buku ini tentu masih relevan hingga hari ini. Kondisi sekarang yang masih marak dengan konflik agraria seperti perampasan tanah yang dilakukan oleh korporasi-korporasi terhadap tanah masyarakat adat menjadi bukti bahwa pemahaman tentang pertanahan dan pertanian sangat dibutuhkan. Konsep-konsep dasar di dalam buku ini seperti bezitrecht (hak milik), Communaal Bezit (Hak milik komunal), Communal Grondbezit (Tanah milik yang bersifat komunal), Cultuurgronden (Tanah milik yang bersifat komunal) perlu untuk diketahui. 
Perjuangan tentu membutuhkan pengetahuan. Menurut hemat saya, buku ini layak menjadi salah satu perwakilan dari sekian banyak buku untuk membantu perjuangan masyarakat adat di bumi Indonesia.

"Mengapa sistem ekonomi kapitalisme harus dilawan? Mengapa tidak kita manfaatkan saja? Kapitalis kan menyumbang pajak buat negara dan tentu menambah pendapatan negara. Saya pikir kita harus memanfaatkan sistem kapitalisme.” Kalimat tersebut disampaikan oleh seorang peserta diskusi dalam suatu agenda diskusi kelompok studi BARSDem beberapa bulan yang lalu. Hal tersebut mengundang perhatian penulis untuk mencoba menjawab hal tersebut. 
Memang benar bahwa para kapitalis menyumbang pajak buat negara. Namun dibalik itu ada hal terselubung yang perlu diperjelas. 
Apa yang salah dari kapitalisme? Sebelum sampai ke sana, saya akan mengutip pengertian kapitalisme dari kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), “sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas."
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk akumulasi modal. Persaingan atau kompetisi adalah kewajaran dan pasar menjadi arena pembuktian kekuatan. Kapitalis sebisa mungkin harus mengusahakan agar hasil produksinya laku dipasaran. Oleh karena itu setiap kapitalis harus selalu mengembangkan alat produksinya untuk menjamin mutu hasil produksi. 
Kapitalisme yang pernah dianggap Adam Smith dkk, akan membawa masyarakat ke pintu kesejahteraan dan kemerdekaan sejati malah membawa masyarakat ke jurang penderitaan. Persaingan yang mewajibkan adanya kekalahan dan kemenangan, membuat pihak yang kalah harus gulung tikar dan menutup usahanya yang secara langsung membuat para pekerja mesti kehilangan pekerjaannya.  Kualitas hasil produksi dan minimnya modal menjadi faktor penentu kekalahan.
Logika kapitalis untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya menjadi malapetaka bagi buruhnya. Semakin kecil upah buruh maka semakin bertambahlah untung kapitalis, sedangkan semakin besar upah buruh maka semakin berkuranglah untung kapitalis. Sudah tentu para kapitalis akan memilih untung yang besar. Apalagi jika keadaan memaksa alat produksi harus dikembangkan, akan diperlukan biaya yang besar. Untuk itu, kapitalis mesti memangkas upah buruh demi mendapatkan dana.
Disamping itu ketika alat produksi diperbaharui, maka alat produksi semakin maju dan tidak lagi membutuhkan jumlah buruh yang besar. Dalam situasi ini, jumlah buruh akan dipangkas (PHK) yang kemudian menjadi pengangguran. Kemudian naiknya jumlah pengangguran menambah kesulitan persaingan untuk mencari lapangan pekerjaan. Persaingan tentu melahirkan watak individual yang membuat bangsa kita semakin terpecah. Kebersamaan dan gotong royong yang merupakan budaya luhur bangsa akan terus terkikis hingga mendekat ke ambang kehancuran. 
Yang terakhir adalah inti masalah di sistem kapitalisme, yaitu penghisapan kapitalis terhadap kaum buruh. Kaum buruh yang menghabiskan waktunya untuk bekerja, tidak mendapatkan hasil sesuai dengan kerjanya. Sedangkan kapitalis yang hanya duduk tenang malah mendapatkan hasil yang sangat besar jika dibanding dengan upah buruh. Disanalah ketidakadilan itu tampak dan menjadi cerminan dari sistem kapitalisme yang hanya berpihak kepada pemilik alat produksi. 
Itulah alasan mengapa sistem kapitalisme harus dilawan. Karena kapitalis tidak akan bisa bergerak dan menghisap jika tidak diizinkan oleh sistem kapitalisme.

Robby Fibrianto Sirait

“Agama itu candu” Itulah pernyataan si bapak komunis, Karl Marx. Pernyataan itu akhirnya berefek samping ke seluruh penganut paham komunisme. Mereka semua dilabeli tidak ber-Tuhan oleh sebagian besar masyarakat bumi. Terlebih lagi di Indonesia, kaum komunis tidak saja dilabeli tak ber-Tuhan, bahkan mereka dianggap anti terhadap orang-orang yang ber-Tuhan.
Hal tersebut merupakan sesuatu kelaziman. Sebab masyarakat Indonesia melihat ajaran Komunis secara parsial dan tidak menyeluruh. Kenapa begitu? Masyarakat dipengaruhi oleh propaganda streotif para kaum anti komunis, termasuk rezim “orde baru”. Salah satu contoh propaganda orde baru ialah, film berjudul “Pemberontakan G30S/PKI” yang selalu ditayangkan setiap malam 30 September di seluruh siaran televisi nasional. Dalam film tersebut, pada adegan awal terdapat peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Islam yang sedang sholat di dalam masjid yang dilakukan oleh para komunis. Film itu memberikan pengertian kepada penonton bahwa komunis adalah orang-orang yang berbahaya dan anti terhadap orang yang beragama. Sementara, dalam sejarah Indonesia telah dituliskan bahwa sebagian tokoh-tokoh besar komunis adalah orang-orang yang taat dalam beragama seperti Haji Misbach (agama Muslim) dan Amir Sjarifudin (agama Kristen).
Kita akan singgung kembali pernyataan Karl Marx yang mengatakan “agama itu candu”. Sebelumnya, kita perlu mengetahui latar belakang sosial di masa kehidupan Karl Marx. Pada saat itu, revolusi industri sedang berkembang sangat pesat di Eropa bagian barat, tempat kelahiran Marx. Dampak yang ditimbulkan adalah tercipta kelas-kelas baru, borjuis (pemilik alat produksi) dan proletar (tidak memiliki alat produksi). Pada saat itu sisa-sisa the dark ages (zaman kegelapan) masih melekat dalam diri sebagian besar kaum proletar Eropa Barat. Kelas proletar yang mengalami kemelaratan tak mampu menyelesaikan masalah yang terjadi sebab mereka hanya mengadu kepada agama tanpa usaha yang nyata. Dan sialnya, agama malah menjawab bahwa itu adalah takdir yang sudah direncanakan Tuhan. Karl Marx selaku pribadi yang progresif melihat keadaan itu sebagai suatu hal yang begitu buruk. Proletar menjadikan agama sebagai obat yang seolah-olah bisa menyelesaikan masalah yang menghinggapi mereka. Berangkat dari keadaan itu lah Marx mengeluarkan pernyataan “agama itu candu”.
Namun, walau mengatakan seperti itu, Marx tetap menegaskan bahwa hal itu bukanlah akar dari permasalahan yang terjadi. Akar masalahnya ialah sistem ekonomi politik yang berlaku, yaitu Kapitalisme. Maka yang harus diselesaikan bukanlah persoalan agama, tetapi sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Sebab sistem ekonomi lah yang mengkondisikan berbagai hal seperti ide, filsafat, organisasi, dan termasuk agama.
Disamping itu, Karl Marx tidak pernah menyarankan masyarakat menjadi tidak ber-Tuhan. Hal yang dianjurkan Marx ialah proletar harus bersatu, menghancurkan sistem ekonomi kapitalisme dan membangun sosialisme yang berdasarkan kebersamaan. Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan komunis sama dengan ateis (tidak percaya kepada Tuhan), merupakan pandangan yang salah kaprah dan gagal memahaminya, sebab pandangan tersebut terlampau sempit dan konyol.

Robby Fibrianto Sirait

Atraksi yang menghanyutkan
Begitulah dia anggap
Parlakuan artifisialmu membuatnya terjebak dalam romantika yang menjijikkan
Dirinya tenggelam dalam lautan emosi yang sangat dalam
Rasionalitas menghilang yang terkadang menghasilkan kemandekan bernalar
Kasihan lelaki itu,
Dia mencintai wanita yang serba artifisial
Hingga saat tertentu dia menghujat Tuhannya
Saat ini dia sedang berdiri di atas tebing menikmati sisa sisa hembusan angin
Dia menatap cakrawala yang betapa luasnya
Hatinya yang belum sembuh mulai tenang
Dan ia akan menyingkirkanmu

Robby Fibrianto Sirait
Medan, 21 Februari 2017

Sore itu aku berlari sekuat tenaga melintasi jalanan menuju halte bus di depan Universitas Negeri Medan, tempat aku kuliah. Jalanan begitu sepi dan gelap. Senja telah berganti malam. Ransel kuposisikan didepan dadaku dan aku lari membungkuk agar tas, buku dan alat tulis lainnya tidak ditembus air hujan. Begitu sampai di halte aku segera duduk dikursi panjang yang terbuat dari beton. Tempat itu juga sepi. Disana hanya duduk seorang lelaki muda memakai tas merah. Rambutnya pendek, kulitnya kecoklatan, matanya sedikit seram, dan badannya cukup tinggi. Dengan sangat pelan ditarik rokoknya. Tatkala serius  memperhatikan dia, aku sadar bahwa dia kini menatapku tajam. Dengan cepat kupalingkan wajahku kearah jalan. Kini aku begitu ketakutan. Takut itu semakin bertambah dengan situasi lampu halte yang remang-remang. Udara dingin dan bajuku yang basah membuat dingin menusuk-nusuk kulitku. Aku menggigil.
Angkot yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Ingin sekali aku meninggalkan tempat ini. Namun aku seperti terpaku. Kembali aku menoleh kearah lelaki bertas merah itu. Dia masih menatapku. Kedua matanya serasa ingin menerkamku. 

Tiba-tiba dia berdiri kemudian berjalan mendekat kearahku. Kini dia berdiri tepat didepan tubuhku. 

"Apa kau kedinginan?". Aku hanya diam, tak membalas perkataannya. Dia membuka kancing tas merahnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam.
"Pakailah ini" ucapnya lirih. Dia menawarkan sebuah jaket coklat padaku. Kuambil jaket itu tanpa berbicara. Lalu dia berjalan kearah tempatnya semula. "Terima kasih" ucapku. Dia menolehku dan memberi senyuman yang membuatku hanyut dalam keadaan. Tak berapa lama angkot yang kutunggu-tunggu menunjukkan hidungnya dari kejauhan. Aku segera berdiri, mengangkat tangan. Angkot tersebut berhenti tepat di depan ku. Sebelum naik, aku berucap "Aku duluan ya, trima kasih sekali lagi!"

********
Keesokan harinya aku dan lelaki itu jumpa ditempat yang sama. Kini aku langsung duduk di sampingnya. "Maaf, jaketmu tidak kubawa karena masih dijemur". Ucapku dengan lemah lembut. Aku tak menyangka bahwa kami berdua akan berjumpa hari ini. "Gapapa kok", katanya. "Kemarin kita tak sempat berkenalan, aku Fika, jurusan Sastra Indonesia". Ucapku sembari menyalam tangannya. Aku merasakan tangan yang begitu kasar. "Aku Boy, Jurusan Pendidikan Sejarah". "Wah kalau begitu gedung kuliah kita berdekatan" ucapku sembari melempar senyuman. Seiring berjalannya waktu obrolan kami semakin berkembang dan seru. Aku tertawa dibuatnya. Rasanya begitu nyaman duduk disampingnya.
Setelah sampai dirumah aku teringat akan dirinya. Sepertinya ada yang begitu mengganjal. Jiwaku bergelora ketika mengingat senyumannya yang begitu mempesona. Aku pergi kejemuran mengambil jaket yang tadi subuh aku cuci. Aku membawanya ke kasurku. Kucium jaket itu kemudian meletakkannya di atas tubuhku. Dengan begitu, aku merasa seperti sedang bersamanya.
Aku mendengar suara ayam berkotek. Kulihat jam dinding kamarku sudah menununjukkan jam enam pagi. Ternyata aku ketiduran semalam hingga tugas laporan tak kukerjakan. Dengan segera, aku masukkan jaket Boy kedalam ransel. Aku yakin akan berjumpa di halte habis kuliah nanti. Aku segera kekamar mandi. Kusirami seluruh tubuhku. Kuambil sabun kemudian menggosokkannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kusiram lagi hingga bersih.
Selesai mandi aku mencari kemeja dan rokku yang paling cantik. Aku menemukannya. Setelah kupakaikan ke tubuhku, aku menyemprotkan parfum yang paling wangi dari beberapa yang kumiliki. Kuoleskan bedak pada wajahku. Lalu kugunakan lipstik warna merah jambu pada bibirku. Kemudian aku melihat diriku dalam cermin. Aku rasa penampilanku ini akan membuat Boy terkesima. Baiklah. Aku akan berangkat kekampus sekarang. 

*******

Waktu sudah pukul enam sore. Aku yang duduk disamping jendela melihat kearah langit. Sang jingga menghiasinya. Mentari hampir terbenam dan menyisakan sinar yang menghasilkan kejingga-jinggaan. Kini aku tak lagi mendengarkan dosen berbicara. Kini pikiranku berada pada lelaki bertas merah di halte. Aku melamun. Aku tak sadar dosen sudah keluar. Secepatnya aku simpan buku dan pulpen kedalam tas. 

Kini aku berjalan menuju halte. Aku berjalan sangat cepat sehingga teman sekelas heran melihatku. Mereka memanggil namun tak kuhiraukan. Sesampainya disana rupanya halte itu kosong. Dia tak ada disana. Apakah dia sudah pulang? Aku tak tahu, Tapi aku melihat waktu suduh pukul 18.45 WIB. Tidak mungkin jam segini dia belum disini. Aku menunggunya. Aku ingin sekali berjumpa dengannya. Sepertinya dia sudah menghipnotis dan menanamkan rindu dalam perasaanku. 

Kini waktu sudah pukul 19.30 Wib. Aku menyerah. Aku ingin pulang. Aku segera menghentikan angkot yang lewat dari depanku. Setelah aku duduk, seseorang berbicara padaku. "Hai Fika, kita berjumpa lagi". Sontak aku terkejut. Ternyata yang berbicara Boy. Dia duduk dengan seorang perempuan cantik berambut panjang dan lurus. Kulitnya putih. "Kenalkan ini pacarku", ucapnya. Mendengar itu moodku hilang. Ada sesuatu yang sakit di dalam dadaku. "Aku Dini" kata perempuan itu sembari mengarahkan tangan kanannya kepadaku. Dengan sangat berat kuangkat tanganku untuk menyalaminya. "Fika" ucapku dengan pelan. Lalu aku mengembalikan jaket coklat kepada Boy. "Ini jaketmu kemarin, Terimakasih!". Setelah itu aku tak lagi bicara bahkan ketika aku turun mendahului mereka. Rasanya benci telah menggantikan kenyamanan yang kudapat darinya. Sesampai dirumah, aku langsung menghempaskan tubuhku ke kasur. Mataku berkaca-kaca. Aku sangat sedih. Memang dia bukan siapa-siapa bagiku. Tapi dia memberikan kenyamanan. Dan aku sudah terlanjur sayang. Aku tak kuasa menahan air mata. Kini ia telah membasahi pipi. Rindu datang menghampiri dan aku tak punya kekuatan menahannya. Aku sadar ini tak bisa dibiarkan. Aku harus membunuh RiNDU!

Dulu aku selalu memberikan kritik atas dasar kebencian. Aku tak pernah memahami apa sebenarnya tujuan dari kritik tersebut. Kini aku sadari bahwa kritik tujuannya untuk mengontrol dan membangun objek kritikan tersebut menjadi lebih baik. Seperti kata Pram “Didiklah pemerintah dengan kritikan”, terlihat jelas bahwa kritikan sangat urgen dalam proses perkembangan objek kritikan. Ada satu hal yang juga penting, memberi kritik wajib menggunakan akal bukan menggunakan perasaan. Sebab kritik harus melekat objektivitas didalamnya. Kritik yang menggunakan perasaan akan berbentuk subjektif dan tidak akan maksimal dan efektif. Jadi gunakan lah akal supaya pemberi kritik tak dibutakan oleh perasaan.
Satu hal lagi. Objek kritikan juga wajib memahami apa tujuan dari kritik. Banyak orang yang anti kritik dikarenakan memasukkan segala ucap kata kedalam perasaannya. Hal ini tentu tidak benar. Dia harus memahami bahwa kritik tujuannya untuk mengontrol dan membangun dirinya menjadi lebih baik. Orang-orang yang anti kritik harus segera berubah dan sadar, kalau tidak dia harus melepas jubahnya dan segera turun dari tugasnya. Kalau bisa lemparkan dan jatuhkan atau turunkan. Baik itu pemerintah, dosen, guru, mahasiswa, dan lain-lain.

Robby Fibrianto Sirait

Operasi Papua Merdeka (OPM) merupakan nama istilah yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada setiap gerakan yang ada di Papua maupun di wilayah selain Papua yang memberikan dukungan terhadap pembentukan negara Papua Barat. Mereka ini sering disebut dengan pro-Papua dan kontra-Indonesia. Gerakan ini bertujuan untuk memisahkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (disintegrasi) karena merasa tidak mendapatkan keadilan sehingga melakukan pemberontakan.
Sejarah Operasi Papua Merdeka
Organisasi Operasi Papua Merdeka pada awalnya lahir sejak Indonesia dengan Belanda melakukan perundingan tanah Papua (Perundingan New York) tanpa menghadirkan wakil dari rakyat Papua. Sedangkan pemberontakan mulai timbul akibat ketidakadilan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua. Diskriminasi politik, ras, agama, ketidakmerataan kesejahteraan serta pendidikan memicu pemberontakan itu.
Gerakan Operasi Papua Merdeka pertama kali didirikan oleh Aser Demotekay pada tahun 1963 di Jayapura yang sering disebut dengan faksi pertama. Organisasi ini melakukan aksinya dengan politik kooperasi tanpa melakukan kekerasan. Sedangkan faksi kedua didirikan oleh Terianus Aronggear di Manukwari pada tahun 1964. Faksi yang kedua ini melakukan perlawanan lebih keras.
Kedua organisasi ini mulai berkembang dan memicu rakyat Papua untuk mendirikan organisasi-organisasi kemerdekaan sehingga perkembangan Operasi Papua Merdeka terus meningkat. Kesengsaraan yang mereka alami berimbas dari kesulitan ekonomi Indonesia sehingga membuat mereka semakin menjadi-jadi dan melakukan pemberontakan-pemberontakan besar.
Disamping itu, mereka semakin sakit hati ketika Ali Murtopo, seorang mantan jenderal kepercayaan Soeharto membuat statement, “Jika kamu orang Papua ingin merdeka, maka pergilah mengemis kepada Amerika dan meminta salah satu pulau di Pasifik atau pergilah ke bulan dan dirikan negara Papua disana, sebab kami tidak membutuhkan orang Papua, tetapi kami membutuhkan tanah Papua”. Setiap rakyat Papua yang diketahui mendukung Operasi Papua Merdeka ditumpas dengan kejam. Hal ini bisa dikatakan sebagai dosa besar pemerintahan Indonesia.
Penanggulangan Disintegrasi Operasi
Papua Merdeka
Penanggulangan yang dilakukan pemerintah Indonesia dari dulu hingga sekarang cenderung bersifat kekerasan. Tentu bisa saja hal itu bisa membuat rakyat Papua yang pro-Indonesia membelot menjadi pro-Papua karena tidak senang dengan perlakuan Indonesia terhadap bangsanya. Hal itu tentu lebih merugikan Indonesia. Disamping itu, kekerasan terhadap rakyat Papua adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sebenarnya tanpa melakukan kekerasan, pemerintah Indonesia bisa menanggulangi dengan menempuh jalan damai. Sudah tentu pemerintah harus mensejahterakan rakyat Papua lebih dahulu terlebih kepada pendidikannya. Pemerataan pendidikan harus merata bukan terpusat hanya di Jawa saja.
Hukum di Papua juga harus disamakan dengan hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila demi menjaga persatuan (integrasi). Hukum harus tegas dan keadilan harus dijunjung tinggi agar tidak ada penyalahgunaan hukum ataupun penindasan. Pemerintah juga harus meningkatkan toleransi antar agama, suku, dan ras agar tidak terjadi konflik. Upaya integrasi nasional harus dijalankan semaksimal mungkin dan hal ini juga harus dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia agar senantiasa rakyat Papua tidak merasa tersmarjinalkan dan merasakan kesetaraan sosial dengan masyarakat Indonesia.

Robby Fibrianto Sirait