Lelaki bertas Merah itu

Sore itu aku berlari sekuat tenaga melintasi jalanan menuju halte bus di depan Universitas Negeri Medan, tempat aku kuliah. Jalanan begitu sepi dan gelap. Senja telah berganti malam. Ransel kuposisikan didepan dadaku dan aku lari membungkuk agar tas, buku dan alat tulis lainnya tidak ditembus air hujan. Begitu sampai di halte aku segera duduk dikursi panjang yang terbuat dari beton. Tempat itu juga sepi. Disana hanya duduk seorang lelaki muda memakai tas merah. Rambutnya pendek, kulitnya kecoklatan, matanya sedikit seram, dan badannya cukup tinggi. Dengan sangat pelan ditarik rokoknya. Tatkala serius  memperhatikan dia, aku sadar bahwa dia kini menatapku tajam. Dengan cepat kupalingkan wajahku kearah jalan. Kini aku begitu ketakutan. Takut itu semakin bertambah dengan situasi lampu halte yang remang-remang. Udara dingin dan bajuku yang basah membuat dingin menusuk-nusuk kulitku. Aku menggigil.
Angkot yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Ingin sekali aku meninggalkan tempat ini. Namun aku seperti terpaku. Kembali aku menoleh kearah lelaki bertas merah itu. Dia masih menatapku. Kedua matanya serasa ingin menerkamku. 

Tiba-tiba dia berdiri kemudian berjalan mendekat kearahku. Kini dia berdiri tepat didepan tubuhku. 

"Apa kau kedinginan?". Aku hanya diam, tak membalas perkataannya. Dia membuka kancing tas merahnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam.
"Pakailah ini" ucapnya lirih. Dia menawarkan sebuah jaket coklat padaku. Kuambil jaket itu tanpa berbicara. Lalu dia berjalan kearah tempatnya semula. "Terima kasih" ucapku. Dia menolehku dan memberi senyuman yang membuatku hanyut dalam keadaan. Tak berapa lama angkot yang kutunggu-tunggu menunjukkan hidungnya dari kejauhan. Aku segera berdiri, mengangkat tangan. Angkot tersebut berhenti tepat di depan ku. Sebelum naik, aku berucap "Aku duluan ya, trima kasih sekali lagi!"

********
Keesokan harinya aku dan lelaki itu jumpa ditempat yang sama. Kini aku langsung duduk di sampingnya. "Maaf, jaketmu tidak kubawa karena masih dijemur". Ucapku dengan lemah lembut. Aku tak menyangka bahwa kami berdua akan berjumpa hari ini. "Gapapa kok", katanya. "Kemarin kita tak sempat berkenalan, aku Fika, jurusan Sastra Indonesia". Ucapku sembari menyalam tangannya. Aku merasakan tangan yang begitu kasar. "Aku Boy, Jurusan Pendidikan Sejarah". "Wah kalau begitu gedung kuliah kita berdekatan" ucapku sembari melempar senyuman. Seiring berjalannya waktu obrolan kami semakin berkembang dan seru. Aku tertawa dibuatnya. Rasanya begitu nyaman duduk disampingnya.
Setelah sampai dirumah aku teringat akan dirinya. Sepertinya ada yang begitu mengganjal. Jiwaku bergelora ketika mengingat senyumannya yang begitu mempesona. Aku pergi kejemuran mengambil jaket yang tadi subuh aku cuci. Aku membawanya ke kasurku. Kucium jaket itu kemudian meletakkannya di atas tubuhku. Dengan begitu, aku merasa seperti sedang bersamanya.
Aku mendengar suara ayam berkotek. Kulihat jam dinding kamarku sudah menununjukkan jam enam pagi. Ternyata aku ketiduran semalam hingga tugas laporan tak kukerjakan. Dengan segera, aku masukkan jaket Boy kedalam ransel. Aku yakin akan berjumpa di halte habis kuliah nanti. Aku segera kekamar mandi. Kusirami seluruh tubuhku. Kuambil sabun kemudian menggosokkannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kusiram lagi hingga bersih.
Selesai mandi aku mencari kemeja dan rokku yang paling cantik. Aku menemukannya. Setelah kupakaikan ke tubuhku, aku menyemprotkan parfum yang paling wangi dari beberapa yang kumiliki. Kuoleskan bedak pada wajahku. Lalu kugunakan lipstik warna merah jambu pada bibirku. Kemudian aku melihat diriku dalam cermin. Aku rasa penampilanku ini akan membuat Boy terkesima. Baiklah. Aku akan berangkat kekampus sekarang. 

*******

Waktu sudah pukul enam sore. Aku yang duduk disamping jendela melihat kearah langit. Sang jingga menghiasinya. Mentari hampir terbenam dan menyisakan sinar yang menghasilkan kejingga-jinggaan. Kini aku tak lagi mendengarkan dosen berbicara. Kini pikiranku berada pada lelaki bertas merah di halte. Aku melamun. Aku tak sadar dosen sudah keluar. Secepatnya aku simpan buku dan pulpen kedalam tas. 

Kini aku berjalan menuju halte. Aku berjalan sangat cepat sehingga teman sekelas heran melihatku. Mereka memanggil namun tak kuhiraukan. Sesampainya disana rupanya halte itu kosong. Dia tak ada disana. Apakah dia sudah pulang? Aku tak tahu, Tapi aku melihat waktu suduh pukul 18.45 WIB. Tidak mungkin jam segini dia belum disini. Aku menunggunya. Aku ingin sekali berjumpa dengannya. Sepertinya dia sudah menghipnotis dan menanamkan rindu dalam perasaanku. 

Kini waktu sudah pukul 19.30 Wib. Aku menyerah. Aku ingin pulang. Aku segera menghentikan angkot yang lewat dari depanku. Setelah aku duduk, seseorang berbicara padaku. "Hai Fika, kita berjumpa lagi". Sontak aku terkejut. Ternyata yang berbicara Boy. Dia duduk dengan seorang perempuan cantik berambut panjang dan lurus. Kulitnya putih. "Kenalkan ini pacarku", ucapnya. Mendengar itu moodku hilang. Ada sesuatu yang sakit di dalam dadaku. "Aku Dini" kata perempuan itu sembari mengarahkan tangan kanannya kepadaku. Dengan sangat berat kuangkat tanganku untuk menyalaminya. "Fika" ucapku dengan pelan. Lalu aku mengembalikan jaket coklat kepada Boy. "Ini jaketmu kemarin, Terimakasih!". Setelah itu aku tak lagi bicara bahkan ketika aku turun mendahului mereka. Rasanya benci telah menggantikan kenyamanan yang kudapat darinya. Sesampai dirumah, aku langsung menghempaskan tubuhku ke kasur. Mataku berkaca-kaca. Aku sangat sedih. Memang dia bukan siapa-siapa bagiku. Tapi dia memberikan kenyamanan. Dan aku sudah terlanjur sayang. Aku tak kuasa menahan air mata. Kini ia telah membasahi pipi. Rindu datang menghampiri dan aku tak punya kekuatan menahannya. Aku sadar ini tak bisa dibiarkan. Aku harus membunuh RiNDU!

0 komentar:

Posting Komentar