Bermalam Minggu di Parapat dan tentang Demonstrasi

Malam yang dingin membuat aku menggigil. Aku tidak menggunakan sweater maupun atasan lengan panjang. Yang kupakai hanyalah kaos tipis yang mudah ditembus angin. Sedangkan Mahendra mengenakan kemeja lengan panjang, ditambahi celana panjang, dan sepatu. Dari gerak-geriknya tidak tampak kedinginan.
Kami berdua menyusuri jalanan landai. Nafasku terengah-engah membuatku ingin berhenti sejenak. Namun, melihat Mahendra berjalan dengan riang dan bersemangat, niatku pupus.
Di sepanjang jalan, kami berbicara tentang banyak hal, mulai dari tentang organisasi, cinta, hingga ekonomi politik. Asyiknya pembicaraan, candaan membuat tidak terasa sudah sampai di pertengahan jalan. "Wowwww, keren kali langitnya lae." Ucap Mahendra keheranan sambil menunjuk ke langit.
"Ah, keren gimana lae?" Ucapku penasaran, sebab aku tidak melihat sesuatu yang keren di atas sana.
"Itu lae, dibalik gunung itu. Bisa cuma disitu terang dia."
"Ahh, biasanya itu lae..." Ucapku dengan sedikit senyuman melihat Mahendra yang masih mengherani langit itu.
Kami meneruskan perjalanan hingga sampai ke tujuan, Open Stage Parapat. Minum bandrek susu hangat membuat suhu tubuhku meningkat.
Tempat itu ramai. Barangkali karena pada saat itu masih libur lebaran. Aku mencurhatkan seorang perempuan yang tak kunjung membalas pesanku. Mahendra mulai memberikan pendapat dan sarannya. Menurutnya, diperlukan seseorang yang yang bisa memberikan informasi tentang si perempuan. Teman dekatnya. "Siap, dilaksanakan lae!"
Obrolan kami berhenti diikuti gelas bandrek susu yang mengosong. Kuajak Mahendra beranjak melihat Pesanggrahan Soekarno, yang tak cukup jauh dari tempat kami minum.
Tidak cukup jauh berjalan, aku jumpa dengan teman lama, yang juga mantan teman satu kost'an, Paskah, Sarah, Ratna dan Imannuel. Saat itu mereka sedang berbincang dengan seorang teman yang lain, yang rumahnya kira-kira hanya berjara 50 meter dari rumahku, Aswin Harefa, anggota Shine Band yang pernah mendapatkan rekor, kalau tidak salah juara tiga pada kompetisi Indosean Got Tanlent. Kusalam Aswin yang sudah lama tak berjumpa dengannya. Maklum, dia kuliah di Jawa.
Empat mantan teman kost'ku itu mengatakan aku terus demo. Aku tak tau dari mana mereka mengetahuinya. "Kau, lalap demo apa", ucap Paskah.
Aku diam saja dan berusaha menahan agar tak membalas ucapannya. Kalau aku balas, pembicaraan akan menjadi panjang dan sulit untuk merasionalkannya.  Sementara, aku harus membawa Mahendra mengitari tempat ini yang sudah datang jauh-jauh dari Medan. Terpaksa aku mengiyakan ucapan mereka.
Tentang Demonstrasi
Wajar kok mereka begitu. Aku juga pernah tidak suka melihat demonstrasi. Sudah membuat jalanan macet, orang-orang yang demo itu juga bergaya gondrong, celana robek-robek. Namun aku mulai menyadari, bahwa demonstrasi itu tidak sesederhana itu. Demonstrasi itu rumit dengan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Demonstrasi merupakan hak setiap orang untuk menyampaikan tuntutannya.
Sekarang ini Marwah demonstrasi sudah jelek di mata publik. Menurutku, banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Yang pertama, media cenderung memberitakan dampak dari demonstrasi. Media mengabarkan kepada publik, misalnya terjadi kemacetan  di jalan A karena ada sejumlah orang yang demonstrasi. Jarang sekali media mengabarkan tuntutan-tuntutan sejumlah orang tersebut dan sangat sedikit media yang mengabarkan mengapa sejumlah orang tersebut berdemonstrasi. Yang kedua, ada demonstrasi yang digerakkan oleh permainan politik. Sehingga seringkali beberapa demonstrasi yang membutuhkan massa bayaran. Massa bayaran itu sering disebut pasukan nasi bungkus. Karena itu tak jarang aku mendengar pertanyaan "berapa kau dibayar?" "Berapa bayarannya?"
Dua hal itu sangat merusak marwah demonstrasi. Publik tidak menyadari demonstrasi tidak selalu seperti yang dibicarakan media. Demonstrasi tidak selalu digerakkan oleh permainan politik.
Di samping itu, publik hari ini cenderung egois dan apatis. Publik bisa bersenang-senang ria, menikmati makanan mahal, enaknya duduk digedung ber-AC nan tinggi, nyamannya menggunakan mobil mewah, senangnya berwisata ke luar kota bahkan ke luar negeri, sementara menutup mata terhadap anak-anak buruh, petani, dan orang miskin yang tidak bersekolah dan berkuliah karena mahalnya biaya pendidikan, maraknya peminta-minta di tengah kota, banyaknya gadis-gadis yang menjual kelaminnya terhadap lelaki hidung belang, dan masih banyak lagi. Publik menutup mata dengan menuduh mereka "malas, tidak berjuang keras, dan bahkan tidak bernasib."
Adapun terkait yang berdemonstrasi, publik lebih memilih menghina mereka daripada mencari tau apa yang mereka perjuangkan. Karena mereka lebih memilih mementingkan dirinya masing-masing dari pada mereka yang menyuarakan pendapatnya. Publik menutup mata akan ketertindasan orang-orang di sekitarnya karena egonya yang maha tinggi.
Kembali ke Cerita
Lalu aku dan Mahendra, pamit untuk melanjutkan perjalan. Kira-kira 100 meter sebelum tempat tujuan, aku sekcing (sesak kencing). Air seni yang tertahan di tubuhku, segera kukeluarkan di tepi jalanan sepi nan gelap. Tak kupedulikan beberapa orang yang sedang berbincang, yang jaraknya kira-kira 10 meter dari tempatku kencing. "Bisa lae kencing di segala tempat ya.." Ucap Mahendra melihat keanehanku. "Kadang harus gitu dia lae" balasku dengan sedikit tawa.
Perjalanan kami lanjutkan. "Wahhhh... Keren kali laeeee!!" Ucap Mahendra yang takjub melihat bentangan danau toba yang terpampang jelas dari tempat kami berjalan. Tak terlalu kutanggapi, sebab memaklumi Mahendra yang baru pertama kalinya ke tempat itu.
Akhirnya kami sampai di tempat Pesanggrahan Soekarno. Itu adalah tempat penginapan Soekarno dan H. Agus Salim, yang dibawa paksa oleh Belanda untuk membujuk Soekarno menggagalkan rencana kemerdekaan Indonesia  sekitar 71 tahun yang lalu. Seperti biasa, tempat itu ditutup. Menurut beberapa orang, mesti ada izin resmi dari pemerintah dan stakeholder agar bisa memasukinya.
Kami berdua memutuskan untuk beristirahat di pekarangan bangunan tua itu dan tak lupa mengabadikan diri  dengan beberapa jepretan kamera android milik Mahendra. Cukup lama berbincang-bincang disana. Kami berdua pun melanjutkan perjalanan, melintasi beberapa toko suvenir yang berjejer di tepi jalanan hingga sampai ke tempat kami minum tadi.
Di sana kami jumpa dengan teman kompakku di kampung. Mereka mengajak kami duduk bersama. Kira-kira satu jam duduk di sana, kami pun pulang.

0 komentar:

Posting Komentar